Sering kali kita di hadapkan pada situasi yang menuntut kita untuk berkomitmen… K.O.M.I.T.M.E.N ?!?!?
Saat berkomitmen, kita merasa bahwa kita mampu menjalaninya, namun seiring waktu berjalan, terkadang komitmen menjadi sesuatu yang sangat membebankan...
Bahkan terkadang memunculkan godaan untuk kita melanggarnya...
Saat kita memilih untuk menerima atau bekerja pada suatu perusahaan, saat itu kita harus memiliki komitmen, kita harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya, orang-orangnya, dan apapun pekerjaan yang diberikan pada kita juga mematuhi segala peraturan yang berlaku ditempat kita kerja. Itulah sebuah komitmen. Berat memang, harus membiasakan —mengharuskan bahkan— diri bergaul dengan semua orang yang tentunya tidak semuanya adalah menyenangkan.
Atau saat kita memutuskan untuk memulai hidup baru dengan seseorang dalam sebuah ikatan yang sakral —menurut saya, hubungan lawan jenis selain pernikahan, hanyalah sebuah janji, yang bisa or boleh ataupun tidak untuk ditepati— Tapi berbicara komitmen pada pernikahan, adalah sesuatu hal yang sangat essential. Why? Ya iyalah...kalo ngga’ mau berkomitmen ya ngga’ usah nikah aja. Salah satunya adalah dengan menerima semua perubahan pada pasangan kita dari sebelum menikah dengan setelah menikah. Perubahan yang tentunya masih dalam batas toleransi. Mencintai dan akan selalu bersama apapun yang terjadi —dalam artian, kalo kemaren dia kaya, jangan kita meninggalkannyasaat dia jatuh kere, ato saat dia berubah jelek padahal sebelumnya secakep Ahmad Dhani (mentang-mentang!!!)— Menikah berarti kita siap untuk berkomitmen dengan seseorang untuk menjalani hidup dengannya, itu intinya.
Aku pernah membaca sebuah buku dengan komentar dari salah seorang yang membacanya, kalo ngga’ salah dia bilang : ”Manakala komitmen membuat hidup kita tidak bahagia, apa iya kita mau tetep bertahan dengan komitmen itu? Kalau saya sih, akan mendahulukan kebahagiaan dan perasaan saya...” Begitu kira-kira koment-nya (nuhun pisan kalo ada yang salah).
Yup. That’s Rite!
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk dilanggar tidaknya sebuah komitmen. Seperti yang aku contohkan di atas, komitmen pada pekerjaan dan perusahaan...kalo kita ngerasa presure banget sama kerjaan dan orang-orang di dalamnya, boleh donk kita langgar-langgar dikit...kalo ga ketauan ya gpp kalee...kalo udah ngga’ tahan banget ya udh resign aza (istilah dr temen aku nih!). Begitu juga dengan pernikahan, ada hal yang ngga’ patut untuk ditolerir, salah satunya perselingkuhan —kalo ngga’ ketauan mungkin gpp...hehehe— dan juga perbedaan prinsip ataupun pandangan tentang hidup dan bagaimana menjalaninya. Itu hal yang Urgent banget bagi aku. Why? Bolehlah sebagian orang bilang:”...beda itu indah”, ato ”perbeaan diantara kami ngga’ jadi masalah, justru saling melengkapi.” Hello?!?!? Iya kalo cuma beda dia suka ice cream rasa cokelat, kita strowberry...bisa saling icip2, ato dia suka tidur pake guling, sedang kita suka pake bantal, ato dia ngga’ suka pake selimut, sedang kita suka...bagus, jadi ngga’ rebutan khan? Nah kalo yang beda udah cara menjalani hidup misal...dia menganggap pertemanan adalah hal yang biasa aja, sedang kita adalah orang yang rela do everythin’ buat temen, ato dia adalah orang yang memilih menjalani hidup seperti air mengalir...sedang kita adalah future planner sejati —halah, istilah apalagi ini— apa iya masih bisa sejalan?
Well, sebenernya apa yang aku contohkan di atas adalah sebagian kecil dari sekian banyak komitmen yang ada atau bahkan pernah kita putuskan untuk melakukannya. Yang jelas, saat berkomitmen...kita juga harus siap dengan segala konsekwensinya. Dan ada hal-hal tertentu yang patut kita pertimbangkan saat sebuah komitmen siap untuk dilanggar.
Sekarang, untuk tetap bertahan dengan komitmen kita atau melanggarnya...itu adalah pilihan. Dan tergantung bagaimana kita menyikapinya.