34
bulan atau 2 tahun 10 bulan saya bergabung dengan instansi ini. Dan selama 34
bulan, hari ini adalah hari yang sangat menyedihkan bagi saya. Egois
sebenarnya, karena saya bersedih atas apa yang sudah lama dinantikan oleh
atasan saya. Pelantikan beliau sekaligus rolling satuan kerja dari Kalimantan
Timur ke Yogyakarta. 17 bulan bukan waktu yang lama walau juga tidak bisa
dikatakan sebentar. Banyak hal yang bersama-sama kami lewati, banyak falsafah
kehidupan yang entah sadar atau tidak beliau tanamkan pada saya. Kepanikan
ketika ada penyidik yang dating tiba-tiba, atau ada permintaan laporan dadakan
dari kantor pusat. Semua hal kami lewati bersama. Kekesalan demi kekesalan yang
cukup menguras emosi saya pada beliau. Juga tawa demi tawa yang terkadang
karena hal bodoh, kabar bodoh dan orang-orang bodoh (Ups... ini hanya istilah
dari saya).
Satu
kalimat beliau yang saya ingat : “Tidak ada yang namanya ketulusan di BP* ini.”
Tapi sadarkah bapak, bahwa bapak telah
menunjukkan ketulusan itu pada saya? pada kami bawahan bapak? Ketulusan dalam
bekerja, ketulusan dalam melayani pengaduan demi pengaduan. Sikap dan perhatian
bapak pada kami bawahan bapak, sudah menunjukkan, bahwa BP* ini masih memiliki
seorang yang tulus, yaitu bapak.
Bapak mengajarkan bagaimana kerja
yang ibadah. Bapak yang (mengutip istilah Pak Kabag TU) ‘lari terbirit-birit
setiap adzan berkumandang’. Bapak yang juga mengajarkan bahwa bekerja bukan
melulu soal uang. Bapak juga yang pernah bilang, tidak perlu takut pada atasan,
bukan atasan yang menggaji kita. Intinya dedikasi dan loyalitas adalah pada
instansi, institusi dan lembaga. Bukan pada atasan.
Hal
terlucu dari atasan saya ini adalah beliau sangat pelupa. Dan pada akhirnya
menular pada saya (maap, pak!). Dalam 1 bulan mungkin ada 1 lusin bolpoint yang
dihilangkan. Kami sering sekali panik 1 ruangan mencari berkas yang hilang.
Awalnya mengesalkan. Tapi lama-lama saya jadi terbiasa. Hehehe
Sebagai
laki-laki, bapak adalah laki-laki yang menjaga kehormatannya. Pernah kami harus
berada dalam 1 ruangan berdua. Dan tiba-tiba beliau menegur : “Anis, kamu pergi
main kemana gitu. Ga enak kita berdua disini. Ga semua orang pikirannya sama,
pasti ada nanti yang berpikir macam-macam, padahal kita ga ngapa-ngapain.”
Dan
bapak adalah suami idaman untuk setiap wanita. Ketika di suatu acara yang
mengharuskan para istri datang, saya bertanya : “mana ibu (maksutnya istri
atasan saya), pak?”, dan setengah takjub mendengar jawaban beliau : “ada di
sana, cari aja yang paling cantik. Itu istri saya.” –God, pasti ibu bangga mendengarnya–
Istri atasan saya adalah wanita kalem dan sederhana
yang senyumannya meneduhkan hati. Dan saya selalu tenang tiap bertemu dan
berbicara pada istri atasan saya ini. Dan mereka seperti dua sisi mata uang
yang saling melengkapi. Ibu yang begitu bapak yang begini (LOHHH?!?!?).
Juga seorang Ayah yang paling diimpikan. Saya mau
bertukar tempat untuk memiliki ayah seperti atasan saya ini. Pernah suatu hari
karena saya ‘sesak’ oleh sesuatu hal (yang ga perlu diceritakan disini), entah
mengapa saya menulis sms dan bercerita pada beliau. Dan setelahnya saya lega.
Bagi saya beliau adalah seorang “Ayah” yang saya tidak miliki lagi.
Yang
jelas, saya sangat bersyukur, karir saya diawali sebagai bawahan orang baik
seperti atasan saya ini. Beliau adalah guru yang insya Allah saya jadikan acuan
saya dalam bekerja.
Hal-hal
kecil ini akan sangat saya rindukan :
“Nis!”
“Nis, buatkan SPPD
saya”
“Nis, reschedule-kan
tiket saya”
“Lha kamu naruhnya
dimana?” –dengan
logat khas beliau–
“Apa iya?” –dengan logat khas beliau–
“Sudah, kamu kerjakan lagi saja” –dengan logat khas beliau–
“Bisa kamu belikan saya ...” –dengan logat khas beliau–
Dan
belum-belum... saya sudah mewek duluan.
Selamat
menunaikan kerja yang ibadah di tempat yang baru ya, pak. Semoga amanah dan
berkah.
Selamat
berkumpul dengan keluarga. Semoga kebahagiaan dan keberkahan selalu menyertai
bapak sekeluarga.
Dedicated to Bapak MUHAMAD FADHIL dan Keluarga.
*Ruangan
Kabid yang saya acak-acak, 27 Februari 2013