Monday, April 13, 2009

Seperti Kotak Pandora...


Aq dan hampir semua orang pasti memiliki kenangan dengan masa lalu. Ada yang berusaha menghapusnya, melupakannya, bahkan berharap masa lalu tak pernah ada.
Di masa laluq, aq pernah mengenal seseorang, seseorang dengan hampir kesempurnaannya bagiq. Dia menjadikan cinta yang semula tak ada menjadi ada. Dia —secara sadar atau tidak— mengajarkan aq banyak hal, bagaimana mencintai, dan bagaimana menghadapi rasa sakit karena sesuatu hal.
Aq pernah menjadi cew paling bahagia, juga yang terpuruk dalam asa. Sampai akhirnya aq bisa melewati semua...dan sampai pada titik ini. Perlu waktu yang ga sebentar untuk melupakan semua tentang dia. Senyumnya, kekonyolannya, kata demi kata yang mengalir dari bibirnya, aroma tubuhnya...yang seolah melekat kuat di aq. Bertahun-tahun aq berusaha menghapus semua tentangnya...tapi semua ingatan seolah semakin melekat kuat.
Sampai akhirnya...entah disebut dewasa ato apalah namanya...aq memutuskan sesuatu hal. Aq mencoba perlahan memutus semua hal yang berhubungan dengan dia, tak lagi mendengar kabar tentang dia, satu hal yang paling sulit bwat aq lakuin, menahan untuk ga menanyakan apapun tentangnya…
Aq sadar...semuanya butuh proses. Dan aq ga mau memaksakan diriq untuk...BLASTTT... Lupa semua tentang dia.
Apa pernah kalian merasakannya seolah begitu dekat, dalam setiap desah napas namanya terucap, setiap kali tanpa sadar namanya keluar begitu saja, dan bahkan dia orang yang pertama kali kau ingat saat kau terjaga dari tidurmu.
Aq merasakannya. Tapi itu semua sudah hampir berlalu. Belakangan... Dia sudah tak begitu menarik untuk selalu tampil di benakq. Dia juga tak cukup hebat untuk membwat hatiq dag dig dug...
Tapia q belum cukup siap untuk menyatakan “Hei, u tuh bukan siapa2 tau!!” Aq ingin menyimpan semua tentangnya, menjaganya, menjadikannya sesuatu yang berharga Seperti kotak Pandora…Biarlah tak usah lagi dibuka… Karena hanya akan mengacaukan semua bila membukanya. Tp bila tiba saatnya aq akan membukanya dan aq akan tertawa saat mengenangnya...Bahwa dia bukan siapa2.

Monday, April 6, 2009

Happy Being Single

Aku baik baik saja
menikmati hidup yang aku punya
Hidupku sangat sempurna
I’m single and very happy


-By Opie Andaresta-

Belakangan sedang meng-Gila-I lagu teranyar Opie Andaresta. Secara aq sekarang sedang single…again.Ops…single kayaknya ga tepat banget lah ya bwat deskripsi in status aq sekarang. Tepatnya I’m 2nd single…Fufufu.

Menjadi sendiri atau mengambil keputusan untuk sendiri bukan hal mudah bwat sebagian besar orang, termasuk aq. Tapi, manakala kesendirian itu menjadikan qta “lebih berharga” kenapa tidak?

Bukan berarti aq ga bahagia dengan “teman hidup”q sebelum ini. Aq bahagia. Aq mencintainya. Tapi sebuah hubungan ngga’ selalu melulu tentang cinta. Ada banyak komponen yang turut merakitnya. Ibarat sebuah perahu, ada sedikit celah saja yang bocor, tentu akan sangat membahayakan. Banyak upaya dilakukan untuk menutup celah itu. Tapi sayang, celah itu nggak hanya pada satu tempat, tapi dibanyak tempat. Dan mungkin kekuatanq tidak terlalu besar untuk mempertahankan agar perahu ini cukup kokoh untuk terus berlayar.

Ada hari di mana semua nya harus berakhir. Dan memang berakhir. Untuk saat ini, Aq hanya ingin menjalani hidup yang aq punya sekarang, tanpa dia.
I’m single and very happy. Emang gitu yang aq rasain sekarang. Aq lebih bisa menjadi apa adanya aq. Bebas ngelakuin apa aja yang aq pengen. Paling enggak satu bebanq sedikit terlepas. Satu hal yang paling membahagiakan, aq lebih bisa berpikir untuk ke 2 anakq n keluarga yang sayang aq banget. Membebaskan mereka semua dari rasa sakit dan kasian melihatq dan hidup yang qjalani sebelumnya.
Aq lebih bisa berpikir untuk diriq, manjain diri di salon, beli baju yang aq pengen, dan semua2 yang dulunya qredam hanya karena aq menghargai “teman hidup”q. Dulu aq selalu berpikir, “Belikan dia baju ahhh, aq ntar2 aja” Semua2 hanya untuk dia. Ga peduli dengan “Apa yang dia udah lakuin bwat aq”

Sekarang semua udah berlalu. I’m 2nd SINGLE.
Bukan berarti aq nyaranin bwat jadi single lho. Gmana2 berdua tentu lebih baik. Tapi ber2 yg bagaimana dulu… Ada kala di mana aq merasa kesepian. Pengen dipeluk seseorang. Ato sekedar berbagi kesah di malam2 panjang. Satu hal yang sering bwat aq nangis…adalah saat aq terbangun di tengah tidurq dan melihat bahwa hanya ada Tya di sisi aq. Biarlah…Semua hal memang harus menanggung resiko masing2. Termasuk keputusanq being single.

Dahlan Iskan, I’m in Luv

Dahlan Iskan. Sebuah nama yang pastinya tidak asing lagi bagi kita. Sudah sejak lama saya mendengar nama besar beliau. Tapi saya tidak begitu tahu tentang orangnya, juga karya-karyanya. Sampai suatu hari saya melirik tumpukan buku best seller di Toga Mas Malang. Tergelitik dengan buku yang disusun sedemikian rupa oleh pegawai tokonya, GANTI HATI. Kata ‘hati’ yang langsung terlintas di pikiran saya adalah ‘hati’ sebagai sesuatu yang absurd —sama sekali bukan ‘hati’ sebagai salah satu organ tubuh— Saya lihat harga yang tertera di belakang buku. “Ahh…nanti saja. Saya sudah terlanjur membeli banyak buku, novel, kumpulan cerpen, salah satu buku Agus Mustofa, juga buku-buku bacaan brgambar untuk Adhit dan Tya.” Sebenarnya harganya tidak terlalu mahal. Tapi untuk ukuran mahasiswa —saat itu— seperti saya, yang sudah terlanjur mengeluarkan uang untuk sejumlah buku, harus berpikir dua kali untuk menambah pembayaran untuk sebuah buku lagi. Akhirnya saya urung membeli buku Pak Dahlan Iskan. Beberapa hari sempat kepikiran, kenapa saya tidak jadi membeli buku itu. Hari berganti, minggu berlalu, sekian bulan sudah terlewati. Saya lupa dengan keinginan saya membeli buku GANTI HATI-Pak Dahlan Iskan, malah saya menambah koleksi baju-baju saya.

Sampai dipenghujung waktu, saya harus meninggalkan kota Malang dan kembali ke kampung halaman saya, Tenggarong. Saya menghabiskan hari-hari terakhir dengan keliling kota Malang, berwisata kuliner, belanja pesanan Ibu dan kakak saya. Dan terakhir, saya mengunjungi toko buku kesayangan saya, Toga Mas. Saya berniat membeli beberapa buku bergambar model-model rumah, karena kebetulan keluarga saya berniat membangun rumah. Juga beberapa resep masakan. Saya juga berniat membelikan ayah saya sebuah buku. Ayah saya sangat gemar membaca.

Pilihan saya jatuh pada sebuah buku karya Milyader, bisnisman terkemuka di AS. Waktu saya mau -menuruni tangga, tiba-tipa tatapan saya mengarah pada tumpukan buku yang masih tertata dengan rapi. Senyum di buku itu seolah memanggil saya untuk mengambilnya. “God, GANTI HATI. Kenapa saya bisa lupa.” Saya letakkan kembali buku yang semula saya peruntukkan bagi ayah saya. Dan saya mantab mau memberikan GANTI HATI sebagai hadiah untuk ayah saya.

--

Hari-hari awal kepulangan saya di Tenggarong, tidak bisa langsung kerja. Status Fresh Graduate dan sudah menikah, sulit sekali mencari perusahaan yang mau mempekerjakan saya. Mungkin saya harus membenarkan cibiran sebagian orang pada saya “Gelar dua bukan jaminan kerja enak”

Saya bantu pekerjaan bulek —pembantu saya— atau terkadang saya habiskan waktu dengan membaca buku-buku koleksi ayah saya. GANTI HATI. Buku pemberian saya. Saya ambil, dan saya baca. Awalnya hanya kata pengantar, lalu e-mail dan sms yang dimuat. Berlanjut ke isi buku. Dalam sekali habis saya baca buku GANTI HATI, saya langsung jatuh cinta pada Dahlan Iskan. Eitss cinta yang bagaimana dulu… . Tulisan beliau banyak menggugah saya, dan timbul pembenaran pada hati saya “O iya ya, bener juga”

Ada satu bagian yang sangat saya sukai dari GANTI HATI. Sebenarnya saya sering ada pada kondisi seperti itu. Namun, saya sering bingung untuk mendeskripsikannya. Sejak saya membaca satu bagian itu, saya seperti menemukan jawaban atas sikap saya selama ini.

Saya adalah seorang biasa, yang sama dengan kebanyakan orang, saya juga memiliki masalah dalam menjalani hidup. Mulai masalah sekolah mana yang akan saya pilih, pendidikan apa yang akan saya tempuh, masalah dengan keluarga, bertengkar sampai putus dengan pacar, masalah dengan teman sampai ditinggalkan dan meninggalkan teman, masalah dengan kerjaan, dan yang paling sering, masalah dalam perkawinan saya.

Saya bukan orang alim ataupun suci. Tapi saya tahu Tuhan saya, juga kewajiban saya sebagai umat-Nya. Saya sering kali berdoa. Doa untuk kedua orang tua saya, kakak saya, suami saya, anak saya, kakak ipar saya, keponakan saya, keluarga besar saya, teman-teman saya dan semua orang yang saya sayangi dan menyayangi saya. Berdoa untuk segala kebaikan dan kebahagiaan mereka. Terkadang saat melepas mukena seusai sholat “O iya, td saya belum berdoa untuk diri aq sendiri. Udahlah, Tuhan pasti tahu apa yang terbaik buat aq.” Dan itu terus terjadi pada saya. Setiap kali ada masalah, saya jarang sekali menangis dan memohon pada Tuhan penyelesaiannya. Terkadang saya berpikir apa saya terlalu sombong? Angkuh? Sampai saya begitu enggan meminta untuk diri saya. Semua terjawab sudah, melalui tulisan Pak Dahlan Iskan.

Berikut beberapa paragraph yang menggugah pembenaran saya…
Banyak yang Mendoakan Panjang-panjang, Saya Berdoa Pendek

Dalam perjalanan sepanjang lorong-lorong itu, saya menyadari bahwa saya tadi belum sempat berdoa. Saya harus bersoa. Saya tidak mau ada kesan bahwa saya sombong kepada Tuhan. Tapi, segera saja saya terlibat perdebatan dengan diri saya sendiri: harus mengajukan permintaan apa pada Tuhan?Bukankah manusia cenderung minta apa saja kepada Tuhan, sehingga terkesan dia sendiri malas berusaha? Saya tidak mau Tuhan mengejek saya sebagai orang yang bisanya hanya berdoa. Saya tidak mau Tuhan mengatakan kepada saya: Untuk apa kamu saya beri otak kalau sedikit-sedikit masih juga minta pada-Ku?
Karena itu, saya memutuskan tidak akan banyak-banyak mengajukan doa. Saya tidak mau serakah. Kalau saya minta-minta terus kepada Tuhan, kapan saya menggunakan pemberian Tuhan yang paling berharga itu: otak? Maka, saya putuskan akan berdoa sesimpel mungkin.
Tapi, masih ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Apakah saya harus berdoa dengan cara biasa saja atau harus sampai menangis? Kalau doa itu saya sampaikan biasa-biasa saja apakah Tuhan melihat saya sedang serius memintanya? Tapi kalau harus saya ucapkan sampai menangis dan mengiba-iba, apakah Tuhan tidak akan menilainya begini: Lihat tuh Dahlan. Kalau sudah dalam posisi sulit saja dia merengek-rengek setengah mati. Tapi, nanti akan lupa kalau sudah dalam keadaan gembira. Saya tidak ingin Tuhan memberikan penilaian seperti itu.
Apalagi saya juga tahu bahwa sistem file di kerajaan Tuhan tidak membedakan doa yang dikirim secara biasa, secara khusus, maupun secara tangis-menangis. Tuhan punya sistem file-Nya sendiri, entah seperti apa.
Waktu terus berjalan. Perdebatan di hati saya belum selesai. Padahal, kereta sudah hampir sampai di ruang operasi. Akhirnya saya putuskan berdoa menurut keyakinan saya. Satu doa yang pendek dan mencerminkan kepribadian saya sendiri: Tuhan, terserah Engkau sajalah!Terjadilah yang harus terjadi. Kalau saya harus mati, matikanlah. Kalau saya harus hidup, hidupkanlah! Selesai.
Perasaan saya tiba-tiba lega sekali. Plong. Kereta pun tiba di depan ruang operasi.
(Iskan, Dahlan. 2007. Ganti Hati. Hal 15-16. Surabaya: JP BOOKS)

Ada perasaan nyaman begitu saya membaca tulisan Pak Dahlan Iskan. Sejak itu, saya begitu excited, menanti setiap tulisan beliau. Bahkan yang semula di rumah saya berlangganan Surat Kabar lain, berganti KaltimPost.
Bagi saya, beliau bukan orang serba bisa. Tapi, berusaha untuk bisa —termasuk beralih profesi “konsultan transplantasi hati”¬—
Saya mengagumi beliau, terlebih beberapa tahun terakhir, beliau turut berpartisipasi dalam mengatasi masalah listrik di Kaltim. Saya merasa malu, sebagai putra Kaltim, saya belum mampu berbuat banyak. Tapi beliau? Orang yang hanya pernah mencicipi kehidupan di Kaltim, tapi mau berperan serta untuk perubahan Kaltim.
Semoga di suatu kesempatan saya bisa bertemu dengan beliau. Sekedar mengobrol ringan yang sesuai kapasitas otak saya.